
My review
rating: 4 of 5 stars
Konsep lagu-cerpen sebetulnya bukan hal baru bagi saya. Bersama teman-teman dari komunitas fanficiont di internet, saya sudah beberapa kali mencoba mengadaptasi lagu menjadi sebuah cerpen. Perbedaan karya Dee dengan kami adalah lagu dan cerpen dalam buku ini adalah karya-karya di dalamnya benar-benar sebuah Recto Verso yang berasal dari satu kepala. Hal ini sangat sesuai dengan makna Recto Verso, yaitu dua hal yang seolah berbeda dan berlainan namun sebetulnya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dan saling melengkapi.
Membuka halaman demi halaman Recto Verso, saya bertanya-tanya hidangan apa lagi yang kali ini sedang disodorkan oleh seorang Dee Lestari. Apakah ini akan seindah kisah romantis berbalut paparan ilmiah yang berat macam Supernova satu, atau semanis rangkaian kisah yang disampaikan secara ringan macam Filosofi Kopi yang memaksa saya untuk berpikir dan merenung apa yang tersirat di balik setiap kisah yang mengalir ringan, atau bahkan sekedar jalinan kisah petualangan yang menarik dan mencengangkan dengan tema semi fantasi macam sequel supernova lainnya? Maka dimulailah petualangan saya menyelami parade cerpen yang disuguhkan dalam Recto verso.
Secara keseluruhan, gaya penulisan Dee dalam Recto Verso masih tetap indah dan mengagumkan bagi saya. Pemilihan kata, penyusunan kalimat dan permainan metafora untuk penulis sekaliber Dee masih tetap melekat dan terasa kental dan menarik. Bahkan saya menemukan sejumlah nuansa yang lebih berat dan gelap di beberapa cerpen. Tidak biasanya sang penulis menjadi begini melankolis.
Berbicara tentang tema dan nuansa, setelah menyelesaikan cerpen terakhir, saya baru menyadari dalam buku ini tidak ada cerpen yang bernuansa gembira. Saya semakin terkejut ketika mendapatkan tema yang nyaris seragam dalam parade cerpen itu. Semua berkisah tentang kehilangan, perpisahan, penantian atau kekecewaan. Dee memang memperlihatkan keahliannya dalam menerapkan berbagai variasi tekhnik sudut pandang dalam cerpen-cerpennya. Namun hal itu tidak bisa menutupi keseragaman tema yang terasa dari awal sampai akhir. Hal ini membuat saya berpikir apakah sang penulis memang sedang dalam suasana hati negatif ketika menulis cerpen-cerpen ini?
Nuansa yang berbeda saya rasakan ketika membaca kumpulan cerpen Dewi sebelumnya dalam Filosofi Kopi. Cerpen-cerpen di dalamnya menjanjikan rangkaian variasi tema yang menarik dengan cara bercerita yang menggelitik. Kegembiraan membaca pesan-pesan kisah Dee tidak lagi saya rasakan dalam Recto Verso. Dari setiap cerpen saya merasa dipaksa untuk melihat kepahitan demi kepahitan dalam cinta. Semuanya begitu jelas terbaca, seperti bayangan yang terpantul pada permukaan cermin atau air yang jernih, membuat saya berpikir, ”Apakah Dee sedang mencoba menyampaikan sesuatu tentang hidupnya pada saya?” Hal yang terburuk, keseragaman tema dan nuansa itu bahkan mulai membuat saya bosan.
Saya memang bosan. Tapi kebosanan saya cukup terobati dengan kepiawaian penulis dalam menyajikan ceritanya. Bentuk rilis masih saya temukan pada beberapa cerpen awal, membuat saya merasa tertantang untuk menelaah lapis demi lapis kisahnya, sekedar untuk memastikan kebenaran makna yang saya tangkap di dalamnya. Tapi sayangnya, saya merasa tantangan-tantangan itu makin menyurut pada kisah-kisah berikutnya. Kisah-kisah itu mengalir makin "jelas" dengan tema yang makin ”terbaca”.
Dua buah cerpen yang ditulis dalam bahasa Inggris menarik perhatian saya. Apakah penulis memiliki tujuan tertentu sehingga menggunakan bahasa Inggris, atau hanya sekedar ingin berkonsistensi dengan syair lagunya? Saya mencoba menelaah dan menghayati secara khusus dua cerpen tersebut. Saya mendapatkan kehadiran dua cerpen berbahasa inggris itu justru makin memberatkan kekecewaa saya. Dari segi plot dan ending, kedua cerpen itu sama-sama dibuat tidak biasa. Namun saya menemukan tidak hanya nuansa rilis yang memudar, bahkan keindahan metafora dalam dua cerpen berbahasa Inggris itupun berkurang. Saya jadi berpikir, ”Haruskah dalam bahasa Inggris?” Bila ingin menampilkan nuansa lagu dalam cerpen, saya yakin seorang Dee Lestari bisa membuatnya menjadi sebuah cerita yang lebih indah dalam bahasa Indonesia.
Terlepas dari kekecewaan saya terhadap parade cerpen Recto Verso, saya masih menyisakan kekaguman pada kemampuan berkisah seorang Dee Lestari. Terutama bagi mereka yang menyukai kisah drama melankolis dan untaian kata-kata indah, Recto Verso bisa menjadi salah satu ”must be bought item”
View all my reviews.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar