Sabtu, 05 Desember 2009

Malaikat Yang Ingin Menjadi Manusiawi





Judul: Kau Memanggilku Malaikat
Pengarang: Arswendo Atmowiloto
Penerbit: Gramedia
Halaman: 217 halaman

“…………………. Itulah sayap mereka yang masih akan terus membuat terbang, melayang, membayangkan apa saja kadang dengan duka, kadang dengan air mata. Air mata, itulah sebenarnya sayap yang paling penuh makna. Aku berharap memilikinya.” (Kau memanggilku Malaikat, Arswendo Atmowiloto)

Kau Memanggilku Malaikat berkisah tentang seorang malaikat maut yang menjalankan tugasnya menjemput manusia-manusia yang mencapai ajalnya dan menemani mereka sebelum mereka berpindah ke suatu dimensi yang tidak diketahu, bahkan oleh sang malaikat itu sendiri . Dalam masa-masa pendampingan itulah sang malaikat terlibat dalam sejumlah pembicaraan-pembicaraan ringan yang berujung pada sebuah kontemplasi yang belum pernah dia lakukan sebelumnya. Sang malaikat mulai berpikir bahwa manusia adalah makhluk yang sangat beruntung.

Ada yang berkata bahwa Tuhan menciptakan tiga makhluk dengan karakteristik yang berbeda dari sumber yang berbeda. Ada malaikat yang tercipta dari cahaya yang diatkdirkan untuk selalu patuh tanpa nafsu. Ada iblis yang tercipta dari api dan ditakdirkan memiliki karakter penentang, penuh nafsu dan hasrat. Terakhir, ada manusia yang terbuat dari tanah dengan karakter relatif dan unik, sebuah kombinasi antara hati nurani, nafsu, akal dan perasaan. Kombinasi yang mempertimbangkan hitam dan putih, baik dan buruk, benar dan salah, sebuah karakter abu-abu yang tidak dapat ditebak. Mungkin itu pula sebabnya manusia diangkat sebagai makhluk paling mulia. Bahkan Sang Pencipta pun sangat menikmati hasil eksperimen yang satu ini.

Kesan itulah yang saya tangkap setelah membaca novel ini. Saya tidak berani menjamin apakah memang itu yang sedang dicoba untuk disampaikan oleh penulisnya atau bukan. Membaca lembar demi lembar kisah, saya seolah disuguhi berbagai ragam kehidupan manusia, pahit, manis, asam, getir, tutty-frutty istilahnya. Ada kejahatan, ada kebaikan, ada kegetiran, ada kehangatan, ada penyerahan, ada semangat. Semuanya membuat hidup manusia menjadi berwarna dan berarti.

Dengan indah, melalui tokoh Di yang misterius dan Tesarini yang selalu ingin tahu dan mencari tahu saya merasa diingatkan kembali dengan pentingnya bermimpi dan berusaha untuk menjadi hidup. Seperti saat tokoh Tesarini mencoba menjelaskan kepada sang malaikat melalui teorinya menganai daya hidup, bahwa berbagai pertemuan yang dialami oleh malaikat dengan berbagai macam kematian manusia seharusnya mampu membuat dia merasakah sesuatu dan berempati. Melalui sikap spontannya pula si kecil Di mencoba menjelaskan pada malaikat bahwa usaha dibutuhkan untuk membuat sesuatu menjadi bermakna, bahwa takdir bukanlah sesuatu yang kaku, bahwa kita masih mempunyai ruang untuk mencoba, berjuang, dan bahwa merasakan pedih, puas dan gembira adalah sesuatu yang indah.

Bahwa menjadi manusiawi adalah suatu berkah yang maha Kuasa.

2 komentar:

  1. Saya baru beli bukunya. Belum dibaca, tapi. ^^

    BalasHapus
  2. Sekarang sedang membaca. Alurnya seakan maju-mundur, tapi dalam pengertian si malaikat sendiri, sebenarnya alurnya tetap maju.
    Karakter-karakternya menonjol. Dan konsisten di hadapan kematian.
    Entah pendalaman bagaimana, atau riset seperti apa yang dilakukan pengarang untuk menghasilkan tulisan ini. Pastinya tidak mengecewakan untuk untuk ukuran pengarang sekaliber Arswendo Atmowiloto.

    BalasHapus