Sabtu, 05 Desember 2009

Tema homoseksualitas: Pro vs Kontra




Lagi-lagi saya menamatkan membaca dua novel dengan tema homoseksualitas. Melihat banyaknya tema novel homoseksualitas yang beredar belakangan ini (bahkan draft sayapun bertema sama ^^) saya jadi berpikir sepertinya tema homoseksualitas sedang menjadi tema in di kalangan penulis (atau penerbit?). Tapi kembali ke tingkat pemahaman atas tema minor tersebut, apakah novel-novel tersebut benar-benar menampilkan sebuah fenomena yang patut direnungkan dan bisa membuka sebuah sudut pandang baru mengenai tema homoseksualitas yang masih dianggap tabu di Indonesia, atau hanya sekedar mengikuti sebuah trend, mencoba menyodorkan sebuah fenomena (yang dianggap) modern tanpa penggarapan lebih mendalam di segi pesan dan makna cerita.


Novel berjudul Gemblak karya Enang Rokajat Asura dan Pria Terakhir karya Gusnaldi adalah dua novel yang sangat berbeda namun memiliki sebuah kesamaan. Dua-duanya mengangkat tema homoseksualitas dan menurut saya sama-sama memiliki tendensi untuk menggiring pembaca menuju sebuah penilaian (judgemental) tertentu terhadap isu homoseksualitas. Menariknya, kedua novel mencoba menggiring pembaca ke sebuah penilaian yang bertolak belakang.

Gemblak bercerita tentang tokoh Sapto Linggo, seorang mantan gemblak yang mencoba menentang keinginan Hardo Wiseso, seorang warok sakti, mantan majikannya sekaligus ayah dari istrinya, untuk “melamar” Prapto, adiknya untuk dijadikan gemblak. Gemblak sendiri adalah sebuah fenomena budaya lama di daerah Jawa Timur.

Gemblak adalah istilah untuk pemuda-pemuda remaja tampan yang menjadi pendamping seorang warok. Biasanya seorang warok ”melamar” seorang gemblak dengan “mas kawin” seekor sapi atau jaminan untuk biaya pendidikan si gemblak. Makin banyak gemblak yang dimiliki seorang warok akan meningkatkan harga diri warok yang bersangkutan. Dalam sebuah grup reog, gemblak biasanya berperan sebagai penari jathilan dengan dandanan rapi dan riasan mencolok yang menggambarkan seorang pemuda tampan. Ada sebuah kepercayaan bahwa seorang warok sakti pantang untuk menyentuh wanita. Maka munculah anggapan bahwa banyak gemblak yang kemudian juga dijadikan sebagai pemuas kebutuhan seks para warok (walaupun hal ini tidak selalu terjadi). Isu praktik homoseksual inilah yang mencoba diangkat dalam novel ini.


Sedangkan Pria Terakhir bercerita tentang hubungan penuh liku antara dua pria, Boby dan Dydy. Diceritakan Boby, seorang gay jatuh cinta pada sahabat lamanya, Dydy, yang sayangnya sudah berkeluarga. Namun kehidupan keluarga Dydy yang tidak harmonis membuka peluang Boby untuk masuk ke dalam hati Dydy. Mereka lantas resmi berhubungan. Disampaikan dengan metode ringan (plus sinetron ^^) khas cerita metropop, masalah demi masalah bergulir dengan akhir yang cukup di luar dugaan.

Perbedaan yang terlihat jelas dari kedua novel itu adalah gaya bahasa. Gemblak adalah novel yang mencoba menampilkan sebuah budaya sebagai latar belakang. Kegemaran pengarangnya atas karya klasik terkenal Ronggeng Dukuh Paruk milik Ahmad Tohari tampak diumbar di sejumlah halaman. Sementara Pria Terakhir justru memakai setting kehidupan urban yang hedonis dan (katanya) cukup gaul. Tapi uniknya, dua-duanya sama-sama menyodorkan sesuatu yang sama pada saya, yaitu kesan sinetron. Membaca

Gemblak seperti melihat sinetron laga di televisi. Plot kebenaran melawan kejahatan, duel ilmu kanuragan, streotype sosok jahat berwajah sangar dengan senjata menakutkan dan kaki tangan yang garang, lalu ”guru” tokoh utama yang digambarkan sebagai sosok kakek tua nan bijak dan berilmu sakti mandraguna cukup mewakili gambaran sinetron laga (dan cerita-cerita laga klasik) di Indonesia. Alur cerita juga sangat klise, dimana akhirnya kebenaran selalu menang melawan kejahatan. Namun di lain pihak perbuatan dosa pasti akan selalu mendapat ganjaran. Ending yang dipilih masuk ke dalam tipe penyelesaian mengambang yang bagi saya pribadi terkesan sama sekali tidak menyelesaikan masalah.

Sementara Pria Terakhir mewakili stereotype sinetron cinta pada umumnya. Taburan adegan-adegan romantis (yang terasa dilebih-lebihkan), tebaran kata ”sayang”, ”I love you” dan teks sms cinta lainnya di sana-sini, dan konflik keluarga yang klise (pengkhianatan, keharmonisan dalam keluarg yang berantakan) benar-benar menggambarkan adegan-adegan sinetron (yang maaf) terasa kacangan bagi saya. Pertanyaan ”mengapa begini”, ”mengapa begitu” berlompatan begitu saja dari kepala saya. Perubahan sudut pandang yang tidak tertata dengan baik dan lompatan plot yang terasa begitu cepat di bab-bab akhir adalah beberapa hal yang membuat saya mengerutkan dahi. Karakterisasi novel juga terkesan lemah. Sikap Boby sama sekali tidak terasa seperti sikap seorang laki-laki, bahkan seorang pria flamboyan sekalipun. Saya lebih merasa Boby lebih pantas menjadi perempuan saja. Sementara karakter Dydy terasa menjengkelkan dengan sikapnya yang (dibuat terlalu) meledak-ledak. Untuk pria seumuran dia karakter yang dibangun benar-benar terasa dangkal. Konsistensi karakter Intan, istri Dydy juga terasa sangat lemah. Dari segi teknik, saya pribadi menganggap novel ini agak mengecewakan. Saya jadi bertanya-tanya sebetulnya penulisnya memahami karakter yang dia buat atau tidak.


Terlepas dari itu semua, ada hal lain yang agak diluar ekspetasi saya ketika mulai membaca kedua novel itu. Ini mengenai isu homoseksualitas yang sama-sama diangkat oleh keduanya. Tadinya saya berharap bisa mendapatkan sebuah pandangan baru mengenai isu minor ini, sebuah pandangan yang tidak memberikan penilaian baik atau buruk, sebuah pandangan yang lebih bersifat gambaran dari sebuah fenomena yang mampu membuat saya merenung dan berpikir mengenai hal tersebut. Sayangnya, kedua novel itu sama-sama gagal memenuhi ekspetasi saya.

Sikap Sapto Linggo yang terus-terusan menyalahi takdir lamanya sebagai gemblak dan akhir tragis yang dia dapat (yang dia anggap) sebagai karma atas kenistaan masa lalunya bagi saya cukup menunjukkan judgement penulisnya terhadap isu homoseksualitas. Sementara isu homoseksualitas dalam Pria Terakhir diangkat dengan begitu dangkal. Penolakan dan penerimaan para tokoh ats isu ini terasa dipaksakan, bahkan ada yang terjadi begitu saja. Sikap Intan, istri Didy terhadap perselingkuhan suaminya dengan Boby lebih mirip sikap seorang istri yang mengetahui istrinya berselingkuh daripada seorang istri yang mengetahui suaminya seorang gay. Rasa jijik yang digambarkan terlalu dangkal. Lalu sikap menerima anak-anak Dydy atas kehadiran Boby juga terasa lebih mirip sikap anak yang menerima kehadiran ibu baru daripada sikap anak terhadap teman laki-laki ayah mereka.

Membuat sebuah cerita yang dalam dengan mengangkat isu-isu tertentu tidak bisa dilakukan hanya dengan mengumbar adegan menyentuh dan dramatis. Lebih dari itu, dibutuhkan pemahaman mendalam penulisnya terhadap isu yang mencoba dia sampaikan. Bagi saya pribadi, menulis fiksi sama seperti menulis sebuah karya ilmiah. Keduanya sama-sama membutuhkan riset dan pemikiran yang mendalam termasuk juga pendalaman karakter yang tidak main-main. Hal itu akan membuat novel yang dihasilkan, senegatif apapun itu, akan selalu tetap memiliki nilai-nilai positif yang bisa diambil oleh pembacanya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar