Minggu, 25 Juli 2010

Dunia Antah berantah ala Cerita Silat Mandarin



Judul : Ranah Sembilan
Pengarang : dewi Sartika
Terbitan : oase & Penerbit Sembilan
Hal : 27 halaman

“Bagi Amon, kedua anak yang dipungutnya itu menyulitkan. Mereka tidak menghasilkan uang sama sekali – pastinya menghabiskan uang karena bukankah mereka juga perlu makan? -- Mereka payah, lemah, kecuali harus diakui, keduanya cantik. ………………………… “ (Ranah Sembilan – Dewi Sartika)

Pertama kali memutuskan untuk membeli buku ini adalah karena saya tertarik dengan judulnya yang unik dnegan embel-embel sederet penghargaan yang berhasil diraih oleh penulisnya. Saya pikir saya akan membaca sebuah karya sastra berbobot yang membutuhkan sedikit pemikiran untuk memahami permainan diksi dan maknanya. Sayangnya, ekspetasi saya terhadap karya ini terlalu besar, walau bukan berarti saya kecewa setelah membaca buku ini.

Ranah Sembilan bercerita tentag petualangan dua kakak beradik, Lea dan Diana, yang terlempar dari dunia masa kini ke dunia antah berantah di masa lalu (merupakan asumsi saya setelah mempertimbangkan setting dan berbagai atribut yang mirip film-film kungfu klasik). Dalam petualangan mereka menuju ranah sembilan (sebuah wilayah yang dikuasai oleh sembilan perguruan), mereka berdua bertemu dengan berbagai macam orang dan terlibat dalam pertikaian antar perguruan di ranah sembilan

Berlawanan dengan yang saya perkirakan, novel ranah Sembilan menggunakan gaya bahasa populer dalam penuturannya. Bahkan dialog non-baku muncul dalam sejumlah dialog. Plot cerita mengalir lancar bahkan cenderung cepat, seolah kita sedang disuguhi sebuah film laga. Membacanovel ini saya seperti diingatkan dengan kisah-kisah bertema laga dari negeri Tiongkok macam krangan Kho Ping Ho. Walaupun dalam novel tersebut tidak dicantumkan dnegan jelas setting apa yang digunakan penulisnya, namun deskripsi dan narasi atas situasi dan adegan bisa dibilang mengarah kesana. Apalagi keberadaan ilustrasi di setiap bab yang mengingatkan saya pada komik serial Tapak Sakti, makin menambah kental suasana.

Hal lain yang saya nikmati dari novel ini adalah karakterisasi dari tokoh-rokoh yang dipilih penulis. Walaupun cenderung terasa filmis dan komikal, saya cukup menyukai karakterisasi Amon yang pemarah dan egois, Lea yang galak, Diana yang bijak, bixi yang berkepribadian ganda, bahkan Merope yang centil. Walaupun hanya keluar sebanyak beberapa lembar, namun karakter terakhir tadi cukup membuat saya geregetan. Reaksi yang umum saya rasakan kalau sedang menikmati sebuah kemik atau film seru.

Namun demikian, ada beberapa hal yang sedikit mengganggu kenikmatan saya dalam mengikuti novel ini. Ada sejumlah plot-plot dalam novel yang memiliki ending tidak jelas bahkan cenderung tidak ada. Awalnya, saya pikir novel ini akan memakai tipikal plot kisah Perjalanan antar waktu. Sang tokoh utama terlempar ke dimensi waktu yang berbeda, terlibat petualangan di sana sambil mencari jalan untuk pulang lalu pada akhirnya pulang kembali ke masanya. Ternyata saya keliru, karena hingga akhir cerita, masalah terlempar ke dimensi waktu lain tidka lagi dibahas hingga akhir. Ending cerita justru terkesan menyimpang dari plot yang ditawarkan di bagian awal. Pembaca dibiarkan bertanya-tanya lalu setelah itu apa yang terjadi dengan mereka. Bisa jadi penulisnya memang sengaja menyimpan ending itu untuk sebuah sequel. Kalau tidak, sayang sekali penyelesaian seluruh konflik di cerita tersebut jadi terasa tidak lengkap.

Selain itu, banyaknya karakter yang muncul dengan tiba-tiba juga membuat saya menjadi sedikit bingung. Ada sejumlah karakter yang kemunculannya memang cukup konsisten dalam mendukung plot cerita, namun ada juga karakter sebetulnya memiliki posisi yang cukup penting dalam plot cerita, namun hanya muncul sedikit, sehingga pembagian role dalam plot cerita jadi terasa timpang. Selain itu, penggunaan sudut pandang orang ketiga yang bersifat omniscient, yang memungkinkan pembaca melihat pikiran semua tokoh, membuat saya jadi sedikit kehilangan fokus terhadap tokoh utama dan plot utama cerita.

Terlepas dari semua kekurangan yang saya rasakan dari novel ini, saya cukup menikmati kisah petualangannya. Terutama bagi mereka yang menyukai kisah laga tipe buku-buku Kho Ping Ho, novel ini bisa jadi salah satu koleksi yang asyik untuk dibaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar