Minggu, 25 Juli 2010

Sahabat Lama yang Hilang



Pengarang: Hella S. Haase
Alih Bahasa: Indira Ismail
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 144 halaman

“…Oeroeg dan aku selalu bersama dalam setiap tahap perkembangan, mulai dari kanak-kanak hingga lelaki muda. Bisa kukatakan, Oeroeg melekat pada kehidupan seperti segel cap: terlebih sekarang ini, karena setiap hubungan dan kebersamaan sudah menjadi masa lalu untuk selamanya......”

Saya selalu menyukai kisah-kisah yang bertutur tentang sejarah, atau minimal menggunakan sejarah sebagai latar belakang kisahnya. Ada keasyikan tersendiri saat pikiran ini seolah diajak berkelana ke masa lalu, membaca informasi-informasi penting (entah itu berupa dokumentasi nyata atau sekedar fiktif belaka) yang mampu memberikan sebuah gambaran mengenai masa di saat tersebut. Mungkin karena saya sendiri sangat menyukai cerita-cerita sejarah, dongeng dan sejenisnya, maka membaca tulisan-tulisan atau kisah semacam itu memberikan poin dari segi kepuasan pada diri saya pribadi.

Oeroeg bercerita tentang kisah persahabatan seorang anak belanda, putra pemilik perkebunan besar di Jawa Barat, Hindia Belanda dengan seorang anak pribumi, Oeroeg, anak dari mandor sang ayah. Cerita bergulir dalam bentuk narasi panjang yang menggambarkan kehidupan mereka dari masa kanak-kanak yang hangat, lalu masa remaja yang mulai berjarak dan akhirnya masa dewasa yang membuat mereka menyadari ternyata prinsip dan kenyataan tidak bisa diabaikan untuk menjembatani sebuah perbedaan.

Ada beberapa hal yang bisa saya rasakan dan saya simpulkan setelah membaca kisah ini. Yang pertama adalah perkembangan cara berpikir antara tokoh “aku” dan Oeroeg tampak sangat kontras. “Aku” sebagai seorang anak Belanda, tampak begitu naif ketika dia mempertanyakan (dalam hatinya) perubahan-perubahan yang terjadi pada sahabatnya. “Aku” digambarkan sebagai sosok yang tidak pernah mempermasalahkan perbedaan status dan ras di antara mereka. Dia menganggap Oeroeg sebagai temannya dan Hindia Belanda adalah tanah kelahirannya. Dia mempertanyakan mengapa banyak orang mempermasalahkan perbedaan-perbedaan tersebut, termasuk orang tuanya. Bahkan hingga dia dewasa pun dia tetap tidak bermaksud untuk mempermasalahkan segala perbedaan tersebut.

Sementara Oeroeg digambarkan sebagai sosok pribumi yang keras dan cepat dewasa. Bagaimana dia selalu menjadi panutan tokoh “aku” dan pelindung tokoh "aku" saat kanak-kanak, atau bagaimana saat dia lebih cepat mengerti tentang pergaulan dewasa dibanding tokoh “aku”, termasuk juga perkembangan cara berpikir yang lebih dulu menyadari pandangan-pandangan nasionalis dan patriotik dibanding tokoh “aku”. Ada hal yang menggelitik hati saya saat membaca bagian dimana tokoh “aku” menggambarkan perubahan sikap Oeroeg remaja sebagai sebuah sikap yang terjadi pada kebanyakan remaja pribumi yang memiliki kesempatan bergaul dengan kalangan kulit putih.

“…Selama bertahun-tahun sekolah di MULO, Oeroeg kehilangan semua sifat yang di Sukabumi menunjukkan dia anak desa. Aku mendapat kesan ia berupaya keras menghapus segala sesuatu yang berhubungan dengan segala sesuatu yang bisa mengingatkannya pada masa lalu. Kini ia hanya berbahasa Belanda, pakaiannya sangat kebarat-baratan. Ia tidak pernah bergaul dengan pembantu-pembantu Lida. Ia mengabaikan omongan yang berhubungan dengan masa kanak-kanak kami…”

Penuturan tersebut mengingatkan saya pada kondisi masyarakat bangsa sendiri yang mudah sekali menghilangkan jati diri hanya untuk sebuah status. Gaya hidup kebarat-baratan hasil meniru, mencibir terhadap budaya sendiri yang dianggap kuno dan konservatif, bahkan cetusan dari para generasi muda yang menyatakan betapa mereka malu terlahir sebagai bangsa Indonesia, bangsa yang mereka anggap miskin, bermoral bobrok dan punya banyak masalah. Saya jadi berpikir, bahkan seorang Hella S. Haase pun sudah mengimajinasikan kondisi semacam itu dalam karya klasiknya. Miris mendengarnya. Bila pihak yang diharapkan bisa merubah kondisi ini justru mengeluarkan pernyataan apatis, skeptis dan negatif semacam itu, bagaimana bangsa ini bisa berubah? Sebuah pertanyaan lantas muncul dalam pikiran saya saat membaca kisah Oeroeg. Apakah penggambaran tentang Oeroeg, sebetulnya adalah sebuah refleksi salah karakter pribumi di masa itu?

Hella menuturkan kisah persahabatan dua orang yang berbeda tersebut secara manis dan mengalun. Gaya feminim terasa sekali dalam setiap penuturannya. Sudut pandang yang diambil adalah terbatas dari sudut pandang tokoh “Aku” pembaca seolah diajak untuk ikut bertanya-tanya  atas segala perubahan-perubahan yang dia lihat dan dia rasakan atas seorang Oeroeg, keluarganya, masyarakat dan tatanan sosial. Tidak ada satupun penuturan yang bisa menjelaskan secara pasti bagaimana isi kepala seorang Oeroeg. Yang ada hanya percobaan untuk menebak bersama.

Penuturan Hella dalam kisah ini juga seolah menggambarkan tidak semua orang Belanda adalah penjajah yang kejam dan sewenang-wenang. Anak-anak Belanda yang terlahir di Hindia Belanda pun bisa memiliki perasaan lokalitas yang sama. Hal ini digambarkan dengan tokoh “Aku” yang masih tetap menganggap bumi Parahyangan sebagai tanah kelahirannya. Selain itu sejumlah tokoh yang dimunculkan juga digambarkan sebagai orang-orang Eropa yang tidak begitu mempermasalahkan soal perbedaan status “penjajah” dan “yang dijajah”. Penggambaran perbedaan tetap masih ada, namun lebih cenderung dalam tataran “majikan” dan “pelayan”.

Kemunculan tokoh Gerard sang pemburu yang berpikiran terbuka, atau Lida, ibu asuh yang mau menerima Oeroeg dengan baik maupun keputusan ayah si “aku” untuk bersedia menyekolahkan Oeroeg memberikan kemungkinan gambaran baru mengenai masyarakat penjajah pada saat itu. Saya tidak berani menyimpulkan apakah penggambaran positif dari sisi pihak Belanda ini muncul karena sang penulis adalah orang Belanda atau bukan. Yang jelas, kisah ini memberi saya sebuah gambaran yang lebih manusiawi mengenai bangsa lain yang pernah ikut tinggal (bahkan mungkin sempat merasa menjadi bagian) di tanah air tercinta ini. Membayangkan ada sebuah tatanan kehidupan lain yang lebih manis selain perang melawan penjajah, penyiksaan pada pekerja rodi maupun peristiwa tanam paksa menjadi satu hal menarik yang bisa saya nikmati dari kisah klasik ini.

Walaupun pada akhirnya baik tokoh “Aku” maupun Oeroeg harus dipaksa untuk memilih jalan mereka masing-masing karena perkembangan situasi dan pemahaman terhadap identitas diri yang lebih dewasa, saya tetap bisa meraskan sebuah kehilangan yang dirasakan oleh si tokoh utama. Bagi saya pribadi Hella sudah berhasil memberikan sebuah kisah indah yang mampu memberikan gambaran objektif, tanpa menegatifkan salah satu sisi atau kepribadian salah satu bangsa, mengenai sebuah hubungan antara seorang anak belanda dengan seorang anak pribumi.

“Secara kiasan, tanah longsor berarti perubahan tak mendasar yang menimbun dan memusnahkan semua yang sebelumnya ada. Dan dalam konteks ini, Oeroeg berarti perpisahan dengan tanah kelahiranku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar