Selasa, 17 Agustus 2010

Gugatan Rasial Yang Tidak Menyudutkan




Judul buku : Dimsum Terakhir
Penulis : Clara Ng
Penerbit : PT Gramedia Pustaka utama
Halaman : 361

Clara Ng adalah salah satu penulis novel yang saya kagumi cara bertutur dan ide ceritanya. Ringan, pop, mengalir namun bermakna. Membuat manggut-manggut selesai membaca, antara menikmati bacaan yang tidak perlu banyak menguras otak sekaligus mendapatkan pesan dan kesan yang tidak ala kadarnya. Sebuah kombinasi yang jarang di dapat dari novel-novel aliran pop Indonesia. Sejumlah media menyebutkan bahwa karya-karya Clara Ng mampu menghilangkan batas antara populer dan sastra. Saya rasa mayoritas karakter pembaca pun akan menyetujuinya (termasuk saya). Bila mencari sesuatu yang ringan tapi bermakna, Clara Ng bisa menjadi salah satu pilihan.

Dimsum Terakhir bisa dianggap sebagai salah satu karya Clara Ng yang banyak menghasilkan komentar positif dari sejumlah review-er. Tema kisah yang diangkap cukup riskan, yaitu mengenai kehidupan keluarga keturunan dan pergaulan bebas. Kelebihannya, Clara Ng berhasil menyulap topik tersebut menjadi sebuah cerita drama kelaurga yang manis mengharukan tanpa kesan menggurui atau menyalahkan banyak pihak.

Dimsum Terakhir bercerita tentang keluarga nung Antasana, warga asli Tionghoa yang masih kuat memegang adat budaya keluar, yang memiliki empat putri kembar, yaitu Siska (digambarkan sebagai wanita karier yang mandiri dan modern), Indah (novelist yang berkepribadian serius dan teguh memegang prinsip-prinsipnya), Rosi/Roni (seorang lesbian yang kemudian memutuskan untuk menjadi laki-laki) dan Novera (perempuan dengan karakter pendiam, kalem dan tidak menonjol). Keempat putri Nung yang sudah hidup mandiri dan terpisah dari ayahnya dipaksa untuk kembali berkumpul ketika mendengar ayahnya jatuh sakit dan diperkirakan masanya tinggal sedikit lagi. Dimulailah kisah yang menuntut keempat perempuan dewasa itu kembali memahami arti sebuah ikatan keluarga dan kejujuran.

Gaya bahasa dan karakterisasi seorang Clara NG atas cerita dan tokohnya sudah tidak perlu diragukan lagi. Kembar empat putri Nung dijalankan dnegan sangat manis sesuai dengan pribadi mereka masing-masing yang unik dan khas. Siska dengan keberaniannya bersikap dan berbicara, Indah denagn segala prinsipnya, Rosi dengan keriangan dan kecuekannya serta Novera denagn ketidakmenonjolannya terjalin manis saling melengkapi dan enak untuk dinikmati.

Hal positif lain yang bsia saya rasakan dari novel ini adalah mengenai bagaimana penulisnya mencoba menyentil sejumlah masalah-masalah dan penilaian sosial yang berhubungan dengan rasial dan norma budaya yangd engan manis segera diakhiri dengan sebuah komentar atau ending yang tidak bermaksud menyalahkan atau menggurui. Semua ilustrasi digambarkan dengan lugas sebagai sebuah fenomena hidup yang bsia dipelajari oleh pihak manapun tanpa ada yang merasa disudutkan.
Contoh kecil, saat penulis menggambarkan bagaimana Nung menjadi salah satu korban kerusuhan ras pada Mei 1998. tanpa melebih-lebihkan kondisi dan dampak kerusuhan, plot ini dengan manis ditutup dnegan sebuah penyelesaian anak-anak Nung menemukan ayah mereka sudah diselamatkan oleh seorang Haji yang baik hati. Atau saat si kembar mempermasalahkan kenapa tidak ada libur sekolah di hari Imlek, keluarga Nung dengan bijaksana membuat keputusan untuk merayakan Imlek sebelum jam sekolah.

Membaca kisah Dimsum Terakhir membuat kita tersadar ada sejumlah hal yang perlu direnungkan dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat kita yang begitu majemuk dnegan berbagai adat dan istiadat. Namun di lain pihak, Dimsum Terakhir ditulis tidak untuk melakukan sebuah gugatan atau protes atas kejadian-kejadian tersebut. Biarlah pembaca yang memutuskan itu bagaimana sebaiknya dan apa sebetulnya. Penulis telah melakukan tugasnya dengan baik dalam menyampaikan gambaran kehidupan tersebut tanpa menyudutkan satu pihak.

Saya memasukkan novel ini sebagai salah satu novel favorit saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar